Jumat, 13 Juni 2014

laporan ilmu nutrisi ternak


BAB I
PENDAHULUAN
Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak yang sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa menggangu kesehatan ternak. Pakan memiliki peranan penting bagi ternak, baik untuk pertumbuhan maupun untuk mempertahankan hidupnya, pakan yang diberikan pada ternak harus mengandung nutrien yang dapat memenuhi kebutuhan ternak. Sorgum merupakan salah satu tanaman multifungsional yang dapat digunakan sebagai sumber pangan, pakan, bioetanol dan bahan baku dalam industri. Analisis proksimat adalah suatu kegiatan menganalisis bahan pakan yang meliputi proses pengovenan, penanuran, pengekstraksian yang bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi dan kualitas suatu bahan pakan tersebut. Melalui proses analisis proksimat dapat diketahui bahwa nutrisi dari bahan pakan ternak terdiri dari air, abu, protein, lemak, serat kasar dan bahan ekstrak yang tidak mengandung nitrogen.
Praktikum Ilmu Nutrisi Ternak  bertujuan untuk mengetahui kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar, kadar serat kasar dan BETN dari sampel atau bahan pakan. Manfaat dari praktikum ini yaitu dapat mengetahui proses untuk menentukan kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak, kadar serat kasar dan BETN dari sampel atau bahan pakan.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.      Bahan pakan
Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak (baik berupa bahan organik maupun organik) yang sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa menggangu kesehatan ternak (Hartadi et al., 1993). Pakan memiliki peranan penting bagi ternak, baik untuk pertumbuhan maupun untuk mempertahankan hidupnya, pakan yang diberikan pada ternak harus mengandung nutrien yang dapat memenuhi kebutuhan ternak. Bahan pakan pokok yaitu bahan pakan yang menampung kebutuhan primer selama 24 jam tanpa produksi, sedangkan bahan pakan produksi yaitu bahan pakan yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu (Anggorodi, 1994).  Bahan pakan tersusun atas  sumber energi, sumber protein, mineral dan vitamin (Tillman et al., 1998).

2.1.1.   Sorgum

            Sorgum merupakan salah satu tanaman multifungsional yang dapat digunakan sebagai sumber pangan, pakan, bioetanol dan bahan baku dalam industri (Dicko et al.,2006a, Rajvanshi 1996). Pengolahan sorgum menjadi tepung sorgum lebih dianjurkan dibandingkan produk setengah jadi lainnya, karena tepung lebih tahan disimpan, mudah dicampur, dapat diperkaya dengan zat gizi (Damardjati et al., 2000). Komposisi sorgum menurut literatur Hartadi et al. (1990) adalah kadar air 14%, kadar abu 1,9%, protein kasar 9,6%, lemak kasar 2,9%, serat kasar 2,4%, dan BETN 69,2%.

2.2.      Analisis proksimat

Analisis proksimat merupakan metode yang tidak menguraikan kandungan nutrien secara rinci, namun berupa nilai perkiraan (Soejono, 1990). Analisis proksimat adalah suatu kegiatan menganalisis bahan pakan yang meliputi proses pengovenan, penanuran, pengekstraksian yang bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi dan kualitas suatu bahan pakan tersebut (Tillman et al., 1998).  Melalui proses analisis proksimat dapat diketahui bahwa nutrisi dari bahan pakan ternak terdiri dari air, abu, protein, lemak, serat kasar dan bahan ekstrak yang tidak mengandung nitrogen (Anggorodi, 1998).

2.2.1.   Kadar air
Kadar air bahan pakan akan berkaitan dengan kemampuan daya simpan bahan, berpengaruh pada nilai nutrisinya, biaya pengangkutan dan pengaruh jumlah pakan yang dapat diterima oleh ternak(Tillmanet al., 1998). Air adalah suatu nutrien yang paling sederhana namun paling sukar ditentukan dalam analisis proksimatnya. Analisis kadar air adalah usaha untuk mengetahui presentase air yang ada dalam bahan baku pakan unggas. Biasanya bahan baku akan di uji keringkan atau kadar air yang ada dalam pakan tersebut di keluarkan (diuapkan) (Murtidjo, 1987). Banyaknya kadar air dalam suatu bahan pakan dapat diketahui bila bahan pakan tersebut dipanaskan pada suhu 105 - 1100C. Bahan kering dihitung sebagai selisih antara 100% dengan persentase kadar air suatu bahan pakan yang dipanaskan hingga ukurannya tetap (Anggorodi, 1994).

2.2.2.   Kadar abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil dari pembakaran suatu bahan organik. Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain sebagai parameter nilai gizi dalam suatu bahan makanan juga untuk mengetahui baik tidaknya suatu proses pengolahan serta untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan (Sudarmadji et al., 1996). Analisis kadar abu adalah usaha untuk mengetahui kadar abu bahan baku pakan. Analisis kadar abu secara umum ditentukan dengan membakar bahan baku pakan, biasanya hanya zat-zat organik, selanjutnya ditimbang dan sisanya disebut abu (Murtidjo, 1987). Abu hasil pembakaran dapat digunakan untuk determinasi persentase zat-zat tertentu dalam bahan pakan seperti mineral makro maupun mineral mikro (Anggorodi, 1994).

2.2.3.   Kadar protein kasar
Protein merupakan senyawa organik kompleks yang tersusun atas unsur hidrogen, oksigen, karbon dan nitrogen, mempunyai berat molekul tinggi serta mengandung unsur sulfur dan fosfor (Anggorodi, 1994).  Kadar protein kasar ditentukan dengan metode mikro kjeldahl yang terdiri dari proses oksidasi, penyulingan, titrasi dan perhitungan kadar protein yang terdapat dalam bahan berdasar berat dan volume asam standar yang dinetralisasi oleh amonia. Kadar nitrogen dari bahan pakan ditentukan dengan cara Kjeldahl, yang hasilnya dikalikan dengan faktor koreksi 6,25 karena nitrogen mewakili sekitar 16% dari protein (Tillman et al., 1998).

2.2.4.   Kadar lemak kasar
Kadar lemak diperoleh dengan cara ekstraksi dengan N-heksan untuk menghilangkan eter. Menurut Tillman et al., (1998) dari sampel bahan kering diekstraksi dengan diethyl ether selama beberapa jam, maka bahan yang didapat adalah lemak dan eter akan menguap. Analisis kadar lemak kasar adalah usaha untuk mengetahui kadar lemak pada pakan, secara umum dalam menganalisis bahan baku pakan, lipida ditetapkan sebagai ekstrak eter (Murtidjo, 1987). Lemak yang didapatkan dari analisis lemak ini bukan lemak murni. Selain mengandung lemak sesungguhnya, ekstrak eter juga mengandung lilin, asam organik, alkohol, dan pigmen, oleh karena itu fraksi eter untuk menentukan lemak tidak sepenuhnya benar (Anggorodi, 1994).

2.2.5.   Kadar serat kasar
Serat kasar adalah bagian dari karbohidrat yang sulit dicerna dan mengandung senyawa selulosa, hemiselulosa maupun senyawa lignin. Hemiselulosa bersama selulosa membentuk jaringan tanaman yang membentuk suatu struktur yang kuat pada bagian daun, akar dan kayu tanaman.  Hemiselulosa tidak larut dalam air mendidih tetapi larut dalam garam alkali dan asam kuat encer (Tillman et al., 1998). Fraksi serat kasar mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa tergantung pada species dan fase pertumbuhan bahan tanaman (Anggorodi, 1994). Langkah pertama metode pengukuran kandungan serat kasar adalah menghilangkan semua bahan yang terlarut dalam asam dengan pendidihan menggunakan asam sulfat bahan yang larut dalam alkali dihilangkan dengan pendidihan dalam larutan sodium alkali. Residu yang tidak larut adalah serat kasar (Soejono, 1990).

2.2.6.   Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
BETN merupakan karbohidrat yang dapat larut meliputi monosakarida, disakarida dan polisakarida yang mudah larut dalam larutan asam dan basa serta memiliki daya cerna yang tinggi (Anggorodi, 1994). Nutrien tersebut mempunyai kandungan energi yang tinggi sehingga digolongkan dalam makanan sumber energi yang tidak berfungsi spesifik. Kadar BETN adalah 100% dikurangi kadar abu, protein, lemak kasar dan serat kasar, maka nilainya tidak selalu tepat serta dipengaruhi oleh kesalahan analisa dari zat-zat lain (Tillman et al.,1998).




BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Ilmu Nutrisi Ternak dilaksanakan hari Minggu tanggal 2 Juni 2013 pukul 05.45 – 23.00 WIB dan hari Senin tanggal 3 juni 2013 pukul 05.45 – 24.00 WIB di Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1.      Materi
            Alat yang digunakan adalah botol timbang untuk analisis kadar air, timbangan analitis untuk menimbang bahan, oven untuk mengoven bahan, eksikator untuk mendinginkan bahan, crucible percelain untuk wadah saat dioven dan ditanur pada analisis kadar abu dan kadar serat kasar, tanur listrik untuk memanaskan sampel dalam analisis kadar abu dan kadar serat kasar, labu erlenmeyer untuk tempat sampel yang akan dianalisis kadar protein, beaker glass untuk wadah sampel, gelas ukur untuk mengukur jumlah larutan yang digunakan dalam analitis, corong Buchner untuk analisis kadar serat kasar, kertas saring bebas abu untuk menyaring sampel, labu penyari untuk analisis kadar lemak, soxhlet, pendingin tegak, waterbath, selongsong penyari, buret untuk titrasi, labu destruksi untuk proses destruksi protein, kompor listrik, alat destilasi untuk mendestilasi dalam analisis kadar protein, lemari asam untuk proses destruksi, dan alat titrasi untuk menitrasi sampel pada analisis protein. Sedangkan bahan yang digunakan adalah tepung biji sorghum, H2SO4 0,3 N 50 ml, NaOH 1,5 N 25 ml, aseton 25 ml, aquades panas, N-Hexan, H2SO4 98%, H2BO3 4%, indikator (MR+MB), dan HCl 0,1 N.

3.2.      Metode
3.2.1.   Kadar air
            Mencuci botol timbang kemudian mengeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 – 110oC, kemudian memasukkan kedalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya. Menimbang sampel sebanyak ± 1 gram dan memasukkan ke dalam botol timbang, lalu mengovennya selama 4 – 6 jam pada suhu 105 – 110oC. Mendinginkan sampel dalam eksikator selama 15 menit, lalu menimbangnya. Mengeringkan sampai berat sampel benar-benar konstan, kemudian menghitung kadar air sampel tersebut.
Perhitungan untuk analisis kadar air adalah :

3.2.2.   Kadar abu
            Mencuci bersih crucible porcelain dengan air, lalu mengeringkan dalam oven pada suhu 105 – 110oC selama 1 jam, kemudian mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya. Menimbang sampel sebanyak ± 1 gram, lalu menuangkannya dalam crucible porcelain sebagai wadahnya. Memijarkan sampel dalam crucible porcelain dengan tanur listrik pada suhu 400 – 600oC dalam waktu 4 – 6 jam. Mematikan tanur sampai abu putih sudah terlihat dan membiarkan dingin sampai suhu 120oC, tetapi jangan sekali-kali membuka tanur yang masih bersuhu lebih dari 200oC. Mendinginkan dalam eksikator selama 15 menit lalu menimbangnya, kemudian menghitung kadar abu dalam sampel tersebut.
Perhitungan untuk analisis kadar abu adalah :

3.2.3.   Kadar protein kasar
Metode yang digunakan dalam analisis kadar protein ada 3 yaitu proses destruksi yang merupakan terjadinya proses oksidasi perubahan N atau protein menjadi (NH4)2SO4, proses destilasi yaitu pemecahan (NH4)2SO4 yang dilakukan oleh basa kuat, yaitu NaOH serta proses titrasi, yaitu terjadinya reaksi asam basa.
Mencuci labu destruksi, kemudian memasukkannya dalam oven pada suhu 105oC-110oC selama 1 jam dan memasukkan labu destruksi ke eksikator selama 15 menit. Menimbang sampel, kemudian memasukannya ke dalam labu destruksi. Menambahkan katalis yang terdiri dari selenium 1gr dan menambahkan H2SO4 pekat 25 ml. Memanaskan semua bahan yang ada dalam labu destruksi tersebut secara perlahan-lahan dalam lemari asam, dimana mula-mula dengan nyala kecil sama tidak berasap atau tidak berbuih lagi, dengan nyala diperbesar. Melakukan pendidihan (destruksi) bahan dalam labu destruksi sampai terjadi perubahan warna larutan menjadi hijau jernih atau kuning jernih. Perubahan warna yang terjadi secara bertahap adalah coklat, hijau keruh dan kemudian hijau jernih.
Proses selanjutnya adalah proses destilasi yaitu mendinginkan labu destruksi tersebut lalu sampel dimasukkan labu destilasi yang telah dipasang pada rangkaian alat destilasi. Menggojog labu perlahan sampai homogen dengan menambahkan 50 ml aquades dan 40 ml NaOH 45%. Menampung hasil sulingan dalam erlemeyer yang telah berisi asam borat (H3BO4) sebanyak 20 ml dan menambahkan indikator MR + MB sebanyak 1 tetes sampai warna berubah dari ungu menjadi hijau jernih. Selanjutnya melakukan titrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N, hingga membentuk warna ungu.
Membuat larutan blangko yaitu memasukkan aquades 50 ml dan 40 ml NaOH 45% kedalam labu destilasi. Melakukan destilasi dan menangkapnya dengan campuran H3BO4 sebanyak 20 ml dan indikator MR + MB sebanyak 1 tetes sampai penangkap tersebut berubah warna dari ungu menjadi hijau. Mentitrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai membentuk warna unggu kembali, kemudian menghitung protein kasar dengan rumus :

3.2.4.   Kadar lemak kasar
            Menimbang sampel menggunakan kertas minyak ± 1 gram kemudian membungkusnya menggunakan kertas saring, selanjutnya mengoven sampel pada suhu 110oC selama 6 jam, lalu mengeksikatornya selama 15 menit, dan menimbangnya. Memasukkan sampel ke dalam alat soxhlet yang telah terpasang dalam waterbath. Melakukan penyarian dengan N-Heksan selama ± 3 – 4 jam. Mengeluarkan sampel dari alat soxhlet dan mengangin-anginkan sampai tidak berbau N-Heksan. Mengeringkan sampel yang terbungkus kertas saring dalam oven pada suhu 110oC selama 2 jam, lalu mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya.
Perhitungan untuk analisis kadar lemak kasar adalah :


3.2.5.   Kadar serat kasar
            Mencuci bersih semua alat yang akan digunakan. Memasukkan gelas beker dan kertas saring dalam oven pada suhu 105 – 110oC selama 1 jam, kemudian mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya. Menimbang sampel sebanyak ± 1 gram dan memasukkannya dalam gelas beker, kemudian memasukkan 50 ml H2SO4 0,3 N dan memasaknya selama 30 menit. Setelah mendidih memasukkan 25 ml NaOH 1,5 N dan memasaknya hingga mendidih selama 30 menit. Menyaring cairan tersebut menggunakan kertas saring yang telah terpasang dalam corong Buchner. Menyaring sampel dengan berturut-turut menggunakan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0,3 N, 50 air panas lagi dan 25 ml aseton. Memasukkan kertas saring dan isinya kedalam crucible porcelain lalu mengeringkannya dalam oven pada suhu 105 – 110oC selama 1 jam, lalu mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya. Memijarkan kertas saring dan isinya yang ada dalam crucible porcelain dalam tanur listrik pada suhu 400 – 600oC selama 4 – 6 jam, lalu mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya.
Perhitungan untuk analisis kadar serat kasar adalah :




















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Nutrisi Ternak dengan menggunakan analisis proksimat sampel tepung biji sorghum diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil analisis proksimat dengan sampel tepung biji sorgum
Parameter
Hasil Pratikum*
Literatur**

Bahan Kering
Komposisi BK

------------------------------- (%) -------------------------------
Kadar air

67,72
14
Kadar abu

3,08
1,9
Kadar protein kasar

8,19
9,6
Kadar lemak kasar

5,75
2,9
Kadar serat kasar

8,05
2,4
BETN

42,89
69,2
Sumber: *   Data Primer Pratikum Ilmu Nutrisi Ternak, 2013.
 ** Literatur Hartadi et al. (1993).
4.1.      Kadar air
Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa kadar air dari tepung sorgum adalah 38,28%. Hal ini tidak sesuai dengan Hartadi et al., (1993) yang menyatakan bahwa kadar air tepung biji sorgum sebesar 14,0%, hasil praktikum yang diperoleh lebih tinggi. Hal ini dikarenakan perbedaan umur setelah pemanenan sorgum. Perbedaan kadar air mempengaruhi nutrisi lain yang ada dalam pakan. Hal ini disebabkan karena dalam preparasi sampel pengeringan masih kurang optimal, bahkan sampel yang digunakan cenderung masih basah sehingga banyak serat yang tidak terblender. Hal ini sesuai dengan pendapat Puger (1997) bahwa preparasi sampel untuk dianalisis dikeringkan dengan sinar matahari sampai kandungan airnya tertinggal 20 - 25%. Jika tidak kering artinya kadar air akan lebih tinggi dan proses pemblenderan akan menjadi lama karena serat daun masih basah.

4.2.      Kadar abu
Berdasarkan hasil praktikum analisis proksimat yang telah dilakukan diperoleh hasil kadar abu pada tepung biji sorgum adalah sebesar 3,08%. Hasil ini lebih tinggi dari literatur Hatadi et al. (1993) yang menyatakan bahwa kadar abu dalam bahan kering sebesar 1,9 %. Proses pengabuan secara kering (dry ashing), yaitu dengan menggunakan tanur listrik 400oC-600oC yang menyebabkan berkurangnya mineral-mineral yang volatil pada temperatur tinggi sehingga memungkinkan adanya perbedaan hasil analisis dari ketentuan komposisi bahan tersebut (Rasyaf, 1990). Kadar abu hasil analisis menunjukkan bahwa mineral yang terkandung dalam bahan pakan tidak teruapkan sepenuhnya, hal ini dapat dilihat dengan lebih besarnya nilai kadar abu hasil analisis dari pada nilai kadar abu dalam literatur.  Menurut Tillman et al. (1998) penyebabnya adalah proses pengabuan yang tidak sempurna. Tidak seluruhnya unsur utama pembentuk senyawa organik dapat terbakar dan berubah menjadi gas oksigen yang masih tinggal dalam abu sehingga senyawa oksida (misalnya CaO) dan karbon sebagai karbonat, sebagian mineral tertentu larut menjadi gas (misalnya sulfur sebagai H2S). 






4.3.      Kadar protein kasar
Berdasarkan analisis proksimat dapat dilihat bahwa kandungan protein kasar dalam sorgum adalah 8,19%. Hal ini sedikit lebih rendah dari kadar protein kasar sorgum oleh Hartadi et al. (1993) itu adalah 9,6%. Nilai cerna protein tepung sorgum ini masih lebih rendah jika dibanding dengan sereal yang lain. Sebagai perbandingan nilai daya cerna protein terigu 81%, jagung 73%, dan beras 66% (Mudjisihono, 1990). Rendahnya daya cerna protein tepung sorgum ini karena adanya kompleks tannin-protein yang merupakan faktor pembatas utama penggunaan protein Chibber et al (1980). Menurut Muchtadi (1993) adanya tanin pada sorgum dapat menurunkan daya cerna proteinnya.

4.4.      Kadar lemak kasar
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil kadar lemak kasar dari tepung biji sorgum adalah 5,75%. Hal ini tidak sesuai dengan Hartadi et al. (1993) yang menyatakan bahwa standar kadar lemak kasar pada sorgum sebesar 2,9%. Perbedaan kadar kemak kasar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan minyak, kadar air, umur sorgum pada saat dipanen. Menurut Anggorodi (1994) lemak yang didapatkan dari analisis lemak ini bukan lemak murni, selain mengandung lemak sesungguhnya, ekstrak eter juga mengandung lilin, asam organik, alkohol, dan pigmen, oleh karena itu fraksi eter untuk menentukan lemak tidak sepenuhnya benar.



4.5.      Kadar serat kasar
Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa kadar serat kasar dari tepung sorgum adalah 8,05%. Hal ini tidak sesuai dengan Hartadi et al. (1993) yang menyatakan bahwa standar kadar serat kasar pada tepung sorgum sebesar 2,4%. Perbedaan pada kandungan serat kasar tepung sorgum dipengaruhi beberapa hal seperti umur biji sorgum saat dipanen, kandungan nutrien, dan proses pembuatan tepung sorgum. Hal ini sesuai pendapat Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor yang dapat memepangaruhi kadar serat kasar adalah umur, nutrisi dalam tanah serta jenis tanaman.

4.6.      Kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa kadar BETN dari tepung sorgum adalah 42,89%. Hal ini tidak sesuai dengan Hartadi et al.(1993) yang menyatakan bahwa standar kadar BETN pada tepung sorgum sebesar 69,2%.
Menurut pendapat Tillman et al. (1998) yang menambahkan bahwa besar kecilnya nilai BETN ditentukan tergantung kelima fraksi yang ada (kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar). Besarnya kadar BETN menunjukkan bahwa masih banyak kandungan zat pakan yang dapat menguntungkan, tetapi juga dapat merugikan seperti hemiselulosa jika terlalu banyak zat tersebut sulit untuk dicerna, sebaiknya apabila nilai BETN yang kecil menunjukkan sedikitnya kandungan zat pakan dan juga hemiselulosa yang sedikit dan berakibat pada zat tersebut mudah untuk dicerna.



BAB V
KSIMPULAN DAN SARAN
5.1.      Kesimpulan
Berdasarkan praktikum diperoleh hasil analisis proksimat pada tepung biji sorgum yang sudah dikonversikan dengan bahan kering yaitu kadar air 38, 28%, kadar abu 3,08%, kadar protein kasar 8,19%, kadar lemak kasar 5,75%, kadar serat kasar 8,05% dan kadar BETN dapat diketahui dengan mengurangi 100% dengan jumlah kadar-kadar tersebut diatas sehingga dihasilkan kadar BETN sebesar 42,89%.

5.2.      Saran
Praktikum analisis proksimat memerlukan ketelitian, kesabaran, dan kehati-hatian dalam melakukan percobaan terhadap sampel yang digunakan, sehingga memperoleh hasil yang sesuai dengan prosedur.



DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.
Hartadi, H., A.  D.  Tilman, S.  Reksodiprogo.  1993.  Daftar Komposisi Bahan Makanan Ternak di Indonesia.  PT.  Gramedia, Jakarta.

Murtidjo, B.A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Puger, A. W. 1997. Pengaruh Cara Pengawetan Terhadap Komposisi Kimia Dan Efisiensi dalam Bentuk Hay Dan Silase Pada Daun 16Provenan Gamal(Gliricidia Sepium). Jurusan Nutrisi dan  makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Denpasar
Rasyaf, M. 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1996.  Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. PAU Pangan dan Gizi. UGM, Yogyakarta.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-V. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.