BAB I
PENDAHULUAN
Bahan pakan
adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak yang sebagian atau
seluruhnya dapat dicerna tanpa menggangu kesehatan ternak. Pakan
memiliki peranan penting bagi ternak, baik untuk pertumbuhan maupun untuk mempertahankan
hidupnya, pakan yang diberikan pada ternak harus mengandung nutrien yang dapat
memenuhi kebutuhan ternak. Sorgum
merupakan salah satu tanaman multifungsional yang dapat digunakan sebagai
sumber pangan, pakan, bioetanol dan bahan baku dalam industri. Analisis
proksimat adalah suatu kegiatan
menganalisis bahan pakan yang meliputi proses pengovenan, penanuran,
pengekstraksian yang bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi dan kualitas
suatu bahan pakan tersebut. Melalui proses
analisis proksimat dapat diketahui bahwa nutrisi dari bahan pakan ternak
terdiri dari air, abu, protein, lemak, serat kasar dan bahan ekstrak yang tidak
mengandung nitrogen.
Praktikum Ilmu Nutrisi Ternak bertujuan untuk mengetahui kadar air, kadar
abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar, kadar serat kasar dan BETN dari
sampel atau bahan pakan. Manfaat dari praktikum ini yaitu dapat mengetahui
proses untuk menentukan kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak,
kadar serat kasar dan BETN dari sampel atau bahan pakan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Bahan pakan
Bahan pakan
adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak (baik berupa bahan
organik maupun organik) yang sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa
menggangu kesehatan ternak (Hartadi et al.,
1993). Pakan memiliki peranan penting bagi ternak, baik untuk pertumbuhan
maupun untuk mempertahankan hidupnya, pakan yang diberikan pada ternak harus
mengandung nutrien yang dapat memenuhi kebutuhan ternak. Bahan pakan pokok yaitu bahan pakan yang menampung
kebutuhan primer selama 24 jam tanpa produksi, sedangkan bahan pakan produksi
yaitu bahan pakan yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu
(Anggorodi, 1994). Bahan pakan tersusun atas sumber energi, sumber protein, mineral dan
vitamin (Tillman et al., 1998).
2.1.1. Sorgum
Sorgum merupakan salah satu tanaman multifungsional yang dapat
digunakan sebagai sumber pangan, pakan, bioetanol dan bahan baku dalam industri
(Dicko et al.,2006a, Rajvanshi 1996). Pengolahan sorgum menjadi tepung
sorgum lebih dianjurkan dibandingkan produk setengah jadi lainnya, karena
tepung lebih tahan disimpan, mudah dicampur, dapat diperkaya dengan zat gizi
(Damardjati et al., 2000). Komposisi sorgum menurut literatur Hartadi et
al. (1990) adalah kadar air 14%, kadar abu 1,9%, protein kasar 9,6%, lemak
kasar 2,9%, serat kasar 2,4%, dan BETN 69,2%.
2.2. Analisis proksimat
Analisis
proksimat merupakan metode yang tidak menguraikan kandungan nutrien secara rinci,
namun berupa nilai perkiraan (Soejono, 1990). Analisis proksimat adalah suatu kegiatan menganalisis bahan
pakan yang meliputi proses pengovenan, penanuran, pengekstraksian yang
bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi dan kualitas suatu bahan pakan
tersebut (Tillman et al., 1998). Melalui proses analisis proksimat dapat
diketahui bahwa nutrisi dari bahan pakan ternak terdiri dari air, abu, protein,
lemak, serat kasar dan bahan ekstrak yang tidak mengandung nitrogen (Anggorodi, 1998).
2.2.1. Kadar air
Kadar
air bahan pakan akan berkaitan dengan kemampuan daya simpan bahan, berpengaruh
pada nilai nutrisinya, biaya pengangkutan dan pengaruh jumlah pakan yang dapat
diterima oleh ternak(Tillmanet al., 1998). Air adalah suatu nutrien yang paling sederhana
namun paling sukar ditentukan dalam analisis proksimatnya. Analisis kadar air adalah usaha untuk mengetahui
presentase air yang ada dalam bahan baku pakan unggas. Biasanya bahan baku akan
di uji keringkan atau kadar air yang ada dalam pakan tersebut di keluarkan
(diuapkan) (Murtidjo, 1987).
Banyaknya kadar air dalam suatu bahan pakan dapat diketahui bila bahan pakan
tersebut dipanaskan pada suhu 105⁰ -
1100C. Bahan kering dihitung sebagai selisih antara 100% dengan
persentase kadar air suatu bahan pakan yang dipanaskan hingga ukurannya tetap
(Anggorodi, 1994).
2.2.2.
Kadar abu
Abu adalah zat anorganik
sisa hasil dari
pembakaran suatu bahan organik.
Penentuan abu total dapat digunakan
untuk berbagai tujuan
antara lain
sebagai parameter nilai gizi dalam suatu
bahan makanan juga
untuk mengetahui baik
tidaknya suatu proses pengolahan serta untuk
mengetahui jenis bahan yang digunakan (Sudarmadji et al., 1996). Analisis kadar abu
adalah usaha untuk
mengetahui kadar abu
bahan baku
pakan. Analisis kadar abu
secara umum
ditentukan dengan membakar bahan
baku pakan, biasanya hanya
zat-zat organik, selanjutnya ditimbang
dan sisanya
disebut abu (Murtidjo, 1987). Abu hasil pembakaran dapat digunakan untuk determinasi persentase zat-zat
tertentu dalam bahan pakan seperti mineral makro maupun mineral mikro
(Anggorodi, 1994).
2.2.3. Kadar protein kasar
Protein
merupakan senyawa organik kompleks yang tersusun atas unsur hidrogen, oksigen,
karbon dan nitrogen, mempunyai berat molekul tinggi serta mengandung unsur
sulfur dan fosfor (Anggorodi, 1994). Kadar protein kasar ditentukan dengan metode
mikro kjeldahl yang terdiri dari
proses oksidasi, penyulingan, titrasi dan perhitungan kadar protein yang
terdapat dalam bahan berdasar berat dan volume asam standar yang dinetralisasi
oleh amonia. Kadar nitrogen dari bahan pakan ditentukan dengan cara Kjeldahl,
yang hasilnya dikalikan dengan faktor koreksi 6,25 karena nitrogen mewakili
sekitar 16% dari protein (Tillman et al., 1998).
2.2.4.
Kadar lemak kasar
Kadar lemak
diperoleh dengan cara ekstraksi dengan N-heksan untuk menghilangkan eter. Menurut Tillman et al., (1998) dari sampel bahan kering diekstraksi dengan diethyl ether selama beberapa jam, maka
bahan yang didapat adalah lemak dan eter akan menguap. Analisis kadar
lemak kasar adalah usaha untuk mengetahui kadar lemak pada pakan, secara umum
dalam menganalisis bahan baku pakan, lipida ditetapkan sebagai ekstrak eter (Murtidjo,
1987). Lemak yang
didapatkan dari analisis lemak ini bukan lemak murni. Selain mengandung lemak
sesungguhnya, ekstrak eter juga mengandung lilin, asam organik, alkohol, dan
pigmen, oleh karena itu fraksi eter untuk menentukan lemak tidak sepenuhnya
benar (Anggorodi, 1994).
2.2.5.
Kadar serat kasar
Serat kasar adalah bagian dari karbohidrat yang sulit
dicerna dan mengandung senyawa selulosa, hemiselulosa maupun senyawa lignin.
Hemiselulosa bersama selulosa membentuk jaringan tanaman yang membentuk suatu
struktur yang kuat pada bagian daun, akar dan kayu tanaman. Hemiselulosa tidak larut dalam air mendidih
tetapi larut dalam garam alkali dan asam kuat encer (Tillman et al., 1998).
Fraksi serat kasar mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa tergantung
pada species dan fase pertumbuhan bahan tanaman (Anggorodi, 1994). Langkah
pertama metode pengukuran kandungan serat kasar adalah menghilangkan semua
bahan yang terlarut dalam asam dengan pendidihan menggunakan asam sulfat bahan
yang larut dalam alkali dihilangkan dengan pendidihan dalam larutan sodium
alkali. Residu yang tidak larut adalah serat kasar (Soejono, 1990).
2.2.6. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
BETN
merupakan karbohidrat yang dapat larut meliputi monosakarida, disakarida dan
polisakarida yang mudah larut dalam larutan asam dan basa serta memiliki daya
cerna yang tinggi (Anggorodi, 1994).
Nutrien tersebut mempunyai kandungan energi
yang tinggi sehingga digolongkan dalam makanan sumber energi yang tidak
berfungsi spesifik. Kadar BETN adalah 100% dikurangi kadar abu, protein, lemak
kasar dan serat kasar, maka nilainya tidak selalu tepat serta dipengaruhi oleh
kesalahan analisa dari zat-zat lain (Tillman et al.,1998).
BAB III
MATERI
DAN METODE
Praktikum Ilmu Nutrisi Ternak dilaksanakan hari Minggu tanggal
2 Juni 2013 pukul 05.45 – 23.00 WIB dan hari Senin tanggal 3 juni 2013 pukul 05.45 – 24.00 WIB di Laboratorium Ilmu
Makanan Ternak, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1. Materi
Alat yang digunakan
adalah botol timbang untuk analisis kadar air, timbangan analitis untuk
menimbang bahan, oven untuk mengoven bahan, eksikator untuk mendinginkan bahan,
crucible percelain untuk wadah saat dioven dan
ditanur pada analisis kadar
abu dan kadar serat kasar, tanur listrik
untuk
memanaskan sampel dalam analisis kadar abu dan
kadar serat kasar, labu erlenmeyer untuk
tempat sampel yang akan dianalisis kadar protein, beaker glass untuk
wadah sampel, gelas
ukur untuk mengukur jumlah larutan yang digunakan dalam analitis, corong
Buchner untuk analisis kadar serat kasar, kertas saring bebas abu untuk
menyaring sampel, labu penyari untuk analisis kadar lemak, soxhlet,
pendingin tegak, waterbath,
selongsong penyari, buret untuk titrasi, labu destruksi untuk proses destruksi
protein, kompor listrik, alat destilasi untuk mendestilasi dalam analisis kadar
protein, lemari asam untuk proses destruksi, dan alat titrasi untuk menitrasi
sampel pada analisis protein. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah tepung biji sorghum, H2SO4
0,3 N 50 ml, NaOH 1,5 N 25 ml, aseton 25 ml, aquades panas, N-Hexan, H2SO4
98%, H2BO3 4%, indikator (MR+MB), dan HCl 0,1 N.
3.2. Metode
3.2.1. Kadar air
Mencuci
botol timbang kemudian
mengeringkan dalam
oven selama 1 jam pada suhu 105 – 110oC, kemudian memasukkan kedalam eksikator
selama 15 menit dan menimbangnya. Menimbang sampel sebanyak ± 1 gram dan
memasukkan ke dalam botol timbang, lalu mengovennya selama 4 – 6 jam pada suhu
105 – 110oC.
Mendinginkan sampel dalam eksikator selama 15 menit, lalu menimbangnya. Mengeringkan sampai berat
sampel benar-benar konstan, kemudian menghitung kadar air sampel tersebut.
Perhitungan untuk analisis kadar
air adalah :
3.2.2. Kadar abu
Mencuci
bersih crucible porcelain dengan air,
lalu mengeringkan dalam oven pada suhu 105 – 110oC selama 1 jam,
kemudian mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya.
Menimbang sampel sebanyak ± 1 gram, lalu menuangkannya dalam crucible porcelain sebagai wadahnya.
Memijarkan sampel dalam crucible
porcelain dengan tanur listrik pada suhu 400 – 600oC
dalam waktu 4 – 6 jam. Mematikan tanur sampai
abu putih sudah terlihat dan membiarkan dingin sampai suhu 120oC,
tetapi jangan sekali-kali membuka tanur yang masih bersuhu lebih dari 200oC.
Mendinginkan dalam eksikator selama 15 menit lalu menimbangnya, kemudian
menghitung kadar abu dalam sampel tersebut.
Perhitungan untuk analisis kadar
abu adalah :
3.2.3. Kadar protein kasar
Metode yang
digunakan dalam analisis kadar protein ada 3 yaitu proses destruksi yang
merupakan terjadinya proses oksidasi perubahan N atau protein menjadi (NH4)2SO4,
proses destilasi yaitu pemecahan (NH4)2SO4
yang dilakukan oleh basa kuat, yaitu NaOH serta proses titrasi, yaitu
terjadinya reaksi asam basa.
Mencuci labu destruksi, kemudian
memasukkannya dalam oven pada suhu 105oC-110oC selama 1
jam dan memasukkan labu destruksi ke eksikator selama 15 menit. Menimbang
sampel, kemudian memasukannya ke dalam labu destruksi. Menambahkan katalis yang
terdiri dari selenium 1gr
dan menambahkan H2SO4 pekat 25 ml. Memanaskan semua bahan
yang ada dalam labu destruksi tersebut secara perlahan-lahan dalam lemari asam,
dimana mula-mula dengan nyala kecil sama tidak berasap atau tidak berbuih lagi,
dengan nyala diperbesar. Melakukan pendidihan (destruksi) bahan dalam labu
destruksi sampai terjadi perubahan warna larutan menjadi hijau jernih atau
kuning jernih. Perubahan warna yang terjadi secara bertahap adalah coklat, hijau keruh dan
kemudian hijau jernih.
Proses
selanjutnya adalah proses destilasi yaitu mendinginkan labu destruksi tersebut
lalu sampel dimasukkan labu destilasi yang telah dipasang pada rangkaian alat
destilasi. Menggojog labu perlahan
sampai homogen dengan menambahkan 50 ml
aquades dan 40 ml NaOH 45%. Menampung hasil sulingan dalam erlemeyer yang telah
berisi asam borat (H3BO4) sebanyak 20 ml dan menambahkan
indikator MR + MB sebanyak 1 tetes sampai warna berubah dari ungu menjadi hijau
jernih. Selanjutnya melakukan titrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N, hingga
membentuk warna ungu.
Membuat larutan blangko yaitu memasukkan aquades 50
ml dan 40 ml NaOH 45% kedalam labu destilasi. Melakukan destilasi dan
menangkapnya dengan campuran H3BO4 sebanyak 20 ml dan
indikator MR + MB sebanyak 1 tetes sampai penangkap tersebut berubah warna dari
ungu menjadi hijau. Mentitrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai membentuk
warna unggu kembali, kemudian menghitung protein kasar dengan rumus :
3.2.4. Kadar lemak kasar
Menimbang
sampel menggunakan kertas minyak ± 1 gram kemudian membungkusnya menggunakan
kertas saring, selanjutnya mengoven sampel pada suhu 110oC
selama 6 jam, lalu mengeksikatornya selama 15 menit, dan menimbangnya.
Memasukkan sampel ke dalam alat soxhlet yang telah terpasang dalam waterbath. Melakukan penyarian dengan N-Heksan
selama ± 3 – 4 jam. Mengeluarkan sampel dari alat soxhlet dan
mengangin-anginkan sampai tidak berbau N-Heksan. Mengeringkan sampel
yang terbungkus kertas saring dalam oven pada suhu 110oC
selama 2 jam, lalu mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan
menimbangnya.
Perhitungan untuk analisis kadar
lemak kasar adalah :
3.2.5. Kadar serat kasar
Mencuci
bersih semua alat yang akan digunakan. Memasukkan gelas beker dan kertas saring
dalam oven pada suhu 105 – 110oC
selama 1 jam, kemudian mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan
menimbangnya. Menimbang sampel sebanyak ± 1 gram dan memasukkannya dalam gelas
beker, kemudian memasukkan 50 ml H2SO4 0,3 N dan
memasaknya selama
30 menit. Setelah mendidih
memasukkan 25 ml NaOH 1,5 N dan memasaknya hingga mendidih selama 30 menit.
Menyaring cairan tersebut menggunakan kertas saring yang telah terpasang dalam
corong Buchner. Menyaring sampel dengan berturut-turut menggunakan 50 ml
air panas, 50 ml H2SO4 0,3 N, 50 air panas lagi dan 25 ml
aseton. Memasukkan kertas saring dan isinya kedalam crucible porcelain lalu mengeringkannya dalam oven pada suhu 105 –
110oC
selama 1 jam, lalu mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan
menimbangnya. Memijarkan kertas saring dan isinya yang ada dalam crucible porcelain dalam tanur listrik
pada suhu 400 – 600oC
selama 4 – 6 jam, lalu mendinginkannya dalam eksikator selama 15 menit dan
menimbangnya.
Perhitungan untuk analisis kadar
serat kasar adalah :
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil praktikum Ilmu Nutrisi Ternak
dengan menggunakan analisis proksimat sampel tepung biji sorghum diperoleh hasil
sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil analisis proksimat dengan
sampel tepung biji sorgum
Parameter
|
Hasil Pratikum*
|
Literatur**
|
|
Bahan Kering
|
Komposisi BK
|
||
------------------------------- (%)
-------------------------------
|
|||
Kadar air
|
67,72
|
14
|
|
Kadar abu
|
3,08
|
1,9
|
|
Kadar protein kasar
|
8,19
|
9,6
|
|
Kadar lemak kasar
|
5,75
|
2,9
|
|
Kadar serat kasar
|
8,05
|
2,4
|
|
BETN
|
42,89
|
69,2
|
Sumber: * Data Primer Pratikum Ilmu Nutrisi Ternak, 2013.
** Literatur Hartadi et al. (1993).
4.1. Kadar air
Berdasarkan
hasil praktikum
diketahui bahwa kadar air dari tepung sorgum adalah 38,28%. Hal ini tidak
sesuai dengan Hartadi et al., (1993) yang menyatakan
bahwa kadar air tepung biji sorgum sebesar 14,0%, hasil
praktikum yang diperoleh lebih tinggi. Hal ini dikarenakan perbedaan umur
setelah pemanenan sorgum. Perbedaan kadar air mempengaruhi nutrisi lain yang
ada dalam pakan. Hal ini disebabkan karena dalam preparasi sampel pengeringan masih
kurang optimal, bahkan sampel yang digunakan cenderung masih basah sehingga
banyak serat yang tidak terblender. Hal ini sesuai dengan pendapat Puger (1997)
bahwa preparasi sampel untuk dianalisis dikeringkan dengan sinar matahari
sampai kandungan airnya tertinggal 20 - 25%. Jika tidak kering artinya kadar
air akan lebih tinggi dan proses pemblenderan akan menjadi lama karena serat
daun masih basah.
4.2. Kadar abu
Berdasarkan hasil praktikum analisis proksimat
yang telah dilakukan diperoleh hasil kadar abu pada tepung biji sorgum adalah
sebesar 3,08%. Hasil
ini lebih tinggi dari literatur Hatadi et
al. (1993) yang menyatakan bahwa kadar abu dalam bahan kering sebesar 1,9
%. Proses pengabuan secara kering (dry ashing), yaitu dengan menggunakan
tanur listrik 400oC-600oC
yang menyebabkan berkurangnya mineral-mineral yang volatil pada temperatur
tinggi sehingga memungkinkan adanya perbedaan hasil analisis dari ketentuan
komposisi bahan tersebut (Rasyaf, 1990). Kadar abu hasil analisis menunjukkan
bahwa mineral yang terkandung dalam bahan pakan tidak teruapkan sepenuhnya, hal
ini dapat dilihat dengan lebih besarnya nilai kadar abu hasil analisis dari
pada nilai kadar abu dalam literatur.
Menurut Tillman et al. (1998)
penyebabnya adalah proses pengabuan yang tidak sempurna. Tidak seluruhnya unsur
utama pembentuk senyawa organik dapat terbakar dan berubah menjadi gas oksigen
yang masih tinggal dalam abu sehingga senyawa oksida (misalnya CaO) dan karbon
sebagai karbonat, sebagian mineral tertentu larut menjadi gas (misalnya sulfur
sebagai H2S).
4.3. Kadar protein kasar
Berdasarkan
analisis proksimat dapat dilihat bahwa kandungan protein kasar dalam sorgum
adalah 8,19%. Hal ini sedikit lebih rendah dari kadar protein kasar sorgum oleh
Hartadi et al. (1993) itu adalah 9,6%. Nilai
cerna protein tepung sorgum ini masih lebih rendah jika dibanding dengan sereal
yang lain. Sebagai perbandingan nilai daya cerna protein terigu 81%, jagung
73%, dan beras 66% (Mudjisihono, 1990). Rendahnya daya cerna protein tepung
sorgum ini karena adanya kompleks tannin-protein yang merupakan faktor pembatas
utama penggunaan protein Chibber et al (1980). Menurut Muchtadi (1993) adanya tanin pada
sorgum dapat menurunkan daya cerna proteinnya.
4.4. Kadar lemak kasar
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil kadar lemak
kasar dari tepung biji sorgum adalah 5,75%. Hal ini tidak sesuai dengan Hartadi
et al. (1993) yang menyatakan bahwa standar kadar lemak kasar pada
sorgum sebesar 2,9%. Perbedaan kadar kemak kasar dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti kandungan minyak, kadar air, umur sorgum pada saat dipanen.
Menurut Anggorodi (1994) lemak yang didapatkan dari analisis lemak ini bukan
lemak murni, selain mengandung lemak sesungguhnya, ekstrak eter juga mengandung
lilin, asam organik, alkohol, dan pigmen, oleh karena itu fraksi eter untuk
menentukan lemak tidak sepenuhnya benar.
4.5. Kadar serat kasar
Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa kadar serat kasar dari tepung sorgum adalah 8,05%. Hal ini tidak sesuai dengan Hartadi et al. (1993) yang menyatakan bahwa standar kadar serat
kasar pada tepung sorgum sebesar 2,4%. Perbedaan pada kandungan serat kasar tepung sorgum dipengaruhi beberapa hal seperti umur biji sorgum saat dipanen, kandungan nutrien, dan proses pembuatan tepung sorgum. Hal ini sesuai pendapat Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor yang
dapat memepangaruhi kadar serat kasar adalah umur, nutrisi dalam tanah serta jenis
tanaman.
4.6. Kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa kadar BETN dari tepung
sorgum adalah 42,89%. Hal ini tidak sesuai dengan Hartadi et al.(1993) yang menyatakan bahwa standar kadar BETN
pada tepung sorgum sebesar 69,2%.
Menurut pendapat
Tillman et al. (1998) yang
menambahkan bahwa besar kecilnya nilai BETN ditentukan tergantung kelima fraksi
yang ada (kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar).
Besarnya kadar BETN menunjukkan bahwa masih banyak kandungan zat pakan yang
dapat menguntungkan, tetapi juga dapat merugikan seperti hemiselulosa jika
terlalu banyak zat tersebut sulit untuk dicerna, sebaiknya apabila nilai BETN
yang kecil menunjukkan sedikitnya kandungan zat pakan dan juga hemiselulosa
yang sedikit dan berakibat pada zat tersebut mudah untuk dicerna.
BAB
V
KSIMPULAN
DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum diperoleh hasil analisis proksimat pada
tepung biji sorgum yang sudah dikonversikan dengan bahan kering yaitu kadar air
38, 28%, kadar abu 3,08%, kadar protein kasar 8,19%, kadar lemak kasar 5,75%,
kadar serat kasar 8,05% dan kadar BETN dapat diketahui dengan mengurangi 100% dengan
jumlah kadar-kadar tersebut diatas sehingga dihasilkan kadar BETN sebesar
42,89%.
5.2. Saran
Praktikum analisis proksimat memerlukan ketelitian, kesabaran, dan
kehati-hatian dalam melakukan percobaan
terhadap sampel yang digunakan, sehingga memperoleh hasil yang sesuai dengan
prosedur.
DAFTAR
PUSTAKA
Anggorodi, R.
1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.
Hartadi, H., A.
D. Tilman, S. Reksodiprogo.
1993. Daftar Komposisi Bahan Makanan
Ternak di Indonesia. PT. Gramedia, Jakarta.
Murtidjo, B.A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas.
Kanisius, Yogyakarta.
Puger, A. W. 1997. Pengaruh Cara Pengawetan Terhadap Komposisi Kimia
Dan Efisiensi dalam Bentuk Hay Dan Silase Pada Daun 16Provenan Gamal(Gliricidia
Sepium). Jurusan Nutrisi dan
makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Denpasar
Rasyaf,
M. 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soejono, M. 1990. Petunjuk
Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. PAU
Pangan dan Gizi. UGM, Yogyakarta.
Tillman,
A.D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Cetakan ke-V. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.